MASIGNASUKAv102
1212694102616477524

Muhkamat Mutsyabihat

Pengertian Muhkam Dan Mutasyabih 

Muhkam adalah isim maf’ul dari fi’il ahkama-yuhkimu yang menurut bahasa diartikan dengan  menahan dari goncangan. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. “wa  ihkam al-syai” artinya menguatkan, dan muhkam berarti yang dikokohkan. Ihkam al-kalam  berati menguatkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari berita yang salah. 

Adapun menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan muhkam. Diantara  pendapat-pendapat itu adalah: Dalil yang jelas dan tidak mengandung adanya penasakhan  (penghapusan). Ayat yang hanya mengandung satu tafsir saja. Ayat yang bisa dipahami tanpa  membutuhkan rujukan kepada ayat lain. Ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama  diantaranya adalah al-Jarjani.  

Diantara perbedaan pendapat tersebut, Ibnu Hazm mengatakan bahwa ada dua pendapat yang  paling benar. Yang pertama yaitu ayat yang maknanya sudah jelas, dapat menghilangkan  musykilah dan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Yang kedua adalah ayat yang sudah  tersusun dengan susunan yang bisa dipahami baik itu dengan ditafsirkan ataupun tidak tanpa  adanya perselisihan.  

Dapat disimpulkan bahwa ayat muhkam menurut istilah adalah ayat yang jelas maknanya,  dapat dipahami dengan melihat zhahirnya, tidak mempunyai kemungkinan dihapus hukumnya  dan tidak memerlukan keterangan dari ayat lain untuk memahaminya. 

Mutasyabih berasal dari fi’il tasyabaha-yatasyabahu yang menurut bahasa berarti apa-apa yang  saling menyerupai satu sama lain. Untuk al-Qur`an, penyerupaan itu dalam kesempurnaan,  kebagusan, kebaikan dan dalam memberikan banyak hikmah di dalamnya.  

Mutasyabihat (tunggal, mutasyabihat) berasal dari kata syubbiha yang artinya meragukan,  dalam verbal noun berbentuk jamak artinya adalah tidak tentu atau hal yang meragukan. Dalam  pengertian praktis adalah ayat-ayat al-Qur’an yang artinya tidak jelas atau belum sepenuhnya  disetujui, sehingga terbuka bagi adanya dua atau lebih penafsiran.  

Mutasyabuh menurut bahasa terambil dari tasyabuh yaitu yang satu diserupakan dengan yang  satu lagi. Syubhah yang berarti keadaan dimana salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakan  karena adanya kesamaan antara keduanya.  

Sebagaimana para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan muhkam menurut istilah,  mereka juga berbeda pendapat dalam mengartikan mutasyabih menurut istilah, yaitu: Ayat ayat yang tidak diketahui makna yang sebenarnya oleh siapapun kecuali Allah saja. Ayat yang  memiliki banyak tafsiran. Ayat yang tidak bisa dipahami menurut zhahir lafal sehingga  membutuhkan keterangan lain. 

Dapat dikatakan bahwa ayat mutasyabih menurut istilah adalah ayat yang masih  diperselisihkan tentang penafsirannya dan penafsiran ayat yang sesungguhnya hanya Allah  Yang Tahu. 

Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabihat 

Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabihat Dan Macam-Macam Ayat Mutasyabihat 

1) Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :

a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing) 

Contoh : Lafal dalam ayat 31 surat Abasa: kata Abban (اًّبََوأ) jarang terdapat dalam al-Qur’an,  sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya, ayat 32: 

َوأل نعَاِمُك م لَ ُك َم م تَا ًعا 

Untuk kesenangan kamu dan binatang-binatang ternakmu. (QS. ‘Abasa: 32) Sehingga jelas dimaksud Abban adalah rerumputan. 

b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata al-Yamin bisa bermakna tangan  kanan, keleluasan atau sumpah. 

2) Kesamaran dalam Lafal Murakkab 

Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab terlalu ringkas,  terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib. Contoh tasyabuh (kesamaran) dalam  lafal murakkab terlalu ringkas, terdapat di dalam surah An-Nisa ayat 3:   

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan  yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu  senangi: dua, tiga atau empat…” 

Ayat di atas sulit diterjemahkan. Karena takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim,  lalu mengapa disuruh kawini wanita yang baik-baik, dua, tiga atau empat. Kesukaran itu terjadi  karena susunan kalimat ayat tersebut terlalu singkat. 

memahami ayat ini akan sulit bagi orang-orang yang bukan termasuk orang arab. Dan sejatinya  ayat ini adalah diperuntukkan untuk orang yang sedang melakukan ihram baik haji maupun  umrah. 

Pendapat Ulama Mengenai Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat 

Dalam al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan tentang sifat-sifat  Allah. Contohnya Surah al-Rahman ayat 27: 

Artinya: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Atau dalam Surah Taha ayat 5 Allah berfirman: 

Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy. Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab: 

a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat  mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah  dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana 

yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah  sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada  Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya  tentang makna istiwa`, dia berkata: 

Artinya: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah  (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya. 

Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi,  pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang  demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi  Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya,  mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang  bid’ah (mengada-ada). 

Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas. 

Artinya: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang  mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. 

b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil  kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau  Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa  pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan  dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi,  bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata”  dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistem  penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. 

Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal yang  harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan  kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin  mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk  melakukannya. 

Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil  naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi: 

Artinya: “Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali  Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas: “saya adalah di antara  orang yang mengetahui takwilnya.” (HR. Ibnu al-Mundzir)

Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut aم-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id  mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id  berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita  menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua  yang tidak laik bagi-Nya. 

Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena  tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah.  Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan  argumen aqli.  

Hikmah Adanya Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat 

Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat 

  1. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah.  Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan  faedahnya bagi mereka. 
  2. Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi  mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran ajarannya. 
  3. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan  Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula  untuk diamalkan. 
  4. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena  lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus  menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain. 

Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat 

  1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini  keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk  beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji,  tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga  enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi  penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk  mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu. 
  2. Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah  menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang  mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang  yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk  mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana.  Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni. 
  3. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan  manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar  kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
  4. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar  manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan  wahyu ciptaan Allah SWT. 
  5. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.