MASIGNASUKAv102
1212694102616477524

4. Surat An-Nisa

 

Ayat 4

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

4.  Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Asbabun Nuzul

Ibnu abi Hatim meriwayatkan bahwa Abu Shaleh berkata, “Dulu jika seseorang menikahkan anaknya, maka dia mengambil mahar yang diberikan suaminya untuk anaknya. Lalu Allah melarang hal itu dan menurunkan ayat ini.

 

Ayat 7

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

7.  Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan.

Asbabun Nuzul

Abusy Syekh dan Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Kitab al-Faraa’idh dari al-Kalbi dari Abu Shaleh bahwa Ibnu Abbas berkata, “Dulu orang-orang jahiliah tidak memberi warisan kepada anak-anak perempuan dan anak-anak mereka yang masih kecil hingga mereka remaja. suatu ketika seorang Anshar yang bernama Aus bin Tsabit wafat dan meninggalkan dua orang anak perempuan serta dua orang anak lelaki yang masih kecil. Lalu dua orang anak pamannya, Khalid dan Arthafah yang status keduanya adalah ashabah, datang mengambil semua warisannya. Maka, bekas istrinya pun mendatangi Rasulullah saw. dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Lalu beliau menjawab, “Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan.” Lalu turunlah, ‘Bagi laki-laki ada hak bagian dan harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya,..” (an-Nisaa’: 7)

 

Ayat 11-12

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ

11.  Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.146) Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Untuk kedua orang tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, ibunya mendapat seperenam. (Warisan tersebut dibagi) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan dilunasi) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

146) Bagian laki-laki adalah dua kali bagian perempuan karena kewajiban laki-laki lebih berat daripada perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah (lihat surah an-Nisā’/4: 34).

12.  Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Bagi mereka (para istri) seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Akan tetapi, jika mereka (saudara-saudara seibu itu) lebih dari seorang, mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris).147) Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

147) Menyusahkan ahli waris dapat terjadi dengan melakukan tindakan-tindakan seperti mewasiatkan lebih dari sepertiga harta peninggalan dan memberikan wasiat dengan maksud mengurangi harta warisan, meskipun kurang dari sepertiga harta warisan.

Asbabun Nuzul

Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika saya sakit, dengan berjalan kaki Rasulullah saw. dan Abu Bakar menjenguk saya di tempat Bani Salamah. Ketika sampai, mereka mendapati saya pingsan. Lalu Rasulullah saw. minta diambilkan air kemudian berwudhu lalu memercikkan air di wajah saya. Saya pun tersadarkan diri. Lalu saya bertanya kepada beliau, ‘Apa yang harus saya lakukan terhadap hartaku?’ Maka turunlah firman Allah, “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan..”

Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim meriwayatkan bahwa Jabir berkata, “Pada suatu hari istri Sa’ad bin Rabi’ mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad. Dan Saad syahid pada Perang Uhud ketika bersamamu. Paman mereka telah mengambil semua harta mereka tanpa meninggalkan sedikit pun, sedangkan keduanya tidak mungkin dinikahkan kecuali jika mempunyai harta.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah akan memutuskan hal ini.’ Maka turunlah ayat tentang warisan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Orang-orang yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada kisah dua orang anak perempuan Sa’ad dan tidak turun pada kisah Jabir berpegang pada cerita ini, apalagi ketika itu Jabir belum mempunyai anak. Jawaban bagi mereka adalah ayat ini turun pada dua kisah tersebut. Kemungkinan ia turun pertama kali pada kisah dua anak perempuan itu, sedangkan akhir ayat itu, ‘Jika seseorang meninggal, baik laki-laki mau pun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,…”(an-Nisaa’: 12) turun pada kisah Jabir. Adapun yang dimaksud Jabir dalam kata-kata, ‘Lalu turun ayat,”Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anakanakmu… “(an-Nisaa’: 11), adalah ayat tentang Kalalah yang bersambung dengan ayat ini.” Ada juga sebab ketiga dari turunnya ayat ini, yaitu yang diriwayatkan Ibnu Jarir bahwa as-Suddi berkata, “Dulu orang-orang jahiliah tidak memberi warisan kepada anak-anak perempuan mereka dan anak-anak lelaki mereka yang masih kecil. Mereka hanya memberikan warisan kepada anak-anak mereka yang sudah mampu berperang. Pada suatu ketika, Abdurrahman, saudara Hassan sang penyair, meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri yang bernama Ummu Kuhhah dan lima orang anak perempuan. Lalu para ahli waris laki-lakinya mengambil harta warisannya. Maka Ummu Kuhhah mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw.. Turunlah ayat, ‘…Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan….” (an-Nisaa’:11)’ Kemudian Allah berfirman kepada Ummu Kuhhah,”.. .Para istri memproleh seperti seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kami mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (an-Nisaa’: 12).

Ada versi lain dalam kisah Sa’ad ibnur Rabi’ ini. Al-Qadhi IsmaiI meriwayatkan dalam Ahkaamul Qur’an dari Abdul Malik bin Muhammad bin Hazm bahwa dulu Umrah binti Hizam adalah istri Sa’ad ibnur Rabi’ Sa’ad terbunuh pada Perang Uhud dan meninggalkan seorang anak perempuan. Lalu Umrah binti Hazm mendatangi Rasulullah saw. meminta warisan untuk anaknya. Tentang kasusnya turun firman Allah ta’ala, “Dan mereka meminta fatwa kepadarnu tentang perempuan (an-Nisaa’: 127)


Ayat 19-23

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَاۤؤُكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّمَقْتًاۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا ࣖ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔

19.  Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa.150) Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.

150) Ayat ini tidak mengandung arti kebolehan menjadikan istri sebagai warisan seperti harta, meskipun tidak dengan paksaan. Menurut tradisi jahiliah, anak tertua atau anggota keluarganya yang lain dapat mewarisi janda yang ditinggal wafat ayahnya.

20.  Jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar), janganlah kamu mengambilnya kembali sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan cara dusta dan dosa yang nyata?

21.  Bagaimana kamu akan mengambilnya (kembali), padahal kamu telah menggauli satu sama lain (sebagai suami istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) denganmu?

22.  Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya (perbuatan) itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

23.  Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu151) dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

151) Yang dimaksud dengan ibu pada awal ayat ini adalah ibu, nenek, dan seterusnya ke atas, sedangkan anak perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah. Yang dimaksud dengan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut sebagian besar ulama, mencakup anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

Asbabun Nuzul

Al-Bukhari, Abu Dawud, dan an-Nasa’i meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Dulu jika seseorang meninggal dunia maka para walinya melupakan orang-orang yang lebih berhak terhadap bekas istri-istri mereka dari pada keluarga para wanita itu sendiri. Sebagian mereka ada yang menikahinya, ada juga yang menikahkannya dengan orang lain. Lalu turunlah firman Allah ini.”

Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanad hasan bahwa Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif berkata, “Ketika Abu Qais ibnul Aslat meninggal dunia, anaknya ingin menikahi bekas istrinya. Hal ini memang kebiasaan orang-orang pada masa jahiliah. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘.. . Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa (an-Nisaa’: 19)’ Riwayat ini mempunyai penguat dari Ikrimah dari Ibnu Jarir.

Ibnu Abi Hatim, al-Faryabi, dan ath-Thabrani meriwayatkan dari Adi bin Tsabit bahwa seorang Anshar berkata, “Abu Qais adalah salah seorang Anshar yang shaleh. Ketika dia meninggal dunia, anaknya melamar bekas istrinya. Wanita itu berkata, ‘Saya menganggapmu sebagai anak sendiri dan di kaummu engkau termasuk orang yang saleh.’ Lalu wanita itu mendatangi Nabi saw. dan memberi tahu beliau tentang hal itu. Lalu Rasululiah saw. memerintahkannya untuk kembali ke rumahnya. Lalu turunlah firman Allah, ‘Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau….” (an-Nisaa”: 22)

Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa Muhammad bin Ka’b al-Qarzhi berkata, “Dulu, jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, maka anaknya lebih berhak untuk menikahi bekas istrinya itu jika bukan ibunya sendiri, atau jika dia mau dia bisa menikahkannya dengan orang lain. Ketika Abu Qais meninggal dunia, anaknya, Muhshan, mewarisi hak untuk menikahi bekas istrinya dan tidak memberikan warisan harta kepada bekas istri ayahnya itu. Lalu wanita itu mendatangi Nabi saw. dan menyampaikan kepada beliau tentang hal itu. Maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya kembalilah ke rumahmu, semoga Allah menurunkan sesuatu padamu.’ Lalu turunlah firman Allah ta’ala, ‘Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau.” (an-Nisaa’: 22) Dan turun juga, “Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan paksa.” (an-Nisaa’: 19)

Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan bahwa az-Zuhri berkata, “Ayat ini turun pada beberapa orang Anshar. Ketika itu jika seseorang dari mereka meninggal dunia, orang yang paling berhak terhadap bekas istrinya adalah walinya. Lain walinya itu menjadikan bekas istrinya tersebut ikut dengannya hingga meninggal dunia.”

lbnu Jarir juga meriwayatkan bahwa Ibnu Juraij berkata, “Pada suatu hari saya bertanya kepada Atha’ tentang firman Allah, ‘…(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungrnu (menantu) ,…” (an-Nisaa’: 23). Dia menjawab, “Kami pernah berbincang-bincang bahwa ayat ini turun pada Nabi Muhammad saw. ketika menikahi istri Zaid bin Haritsah.” Ketika itu orang-orang musyrik mengejek beliau karena hal itu. Maka turun firman Allah, ‘.. . (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu),…” (an-Nisaa’: 23) Dan turun juga, “…dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)…” (al-Ahzaab : 4) Dan turun pula, ‘Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu,…” (al-Ahzaab: 40)


Ayat 24

۞ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

24.  (Diharamkan juga bagi kamu menikahi) perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki 152) sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dihalalkan bagi kamu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu, yakni kamu mencari (istri) dengan hartamu (mahar) untuk menikahinya, bukan untuk berzina. Karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya (maskawinnya) sebagai suatu kewajiban. Tidak ada dosa bagi kamu mengenai sesuatu yang saling kamu relakan sesudah menentukan kewajiban (itu). 153) Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

152) Maksudnya adalah hamba sahaya perempuan yang dimiliki karena tertawan. Sementara itu, suaminya tidak ikut tertawan bersamanya (lihat surah an-Nisā’/4: 3).-><-153) Maksudnya adalah bahwa istri boleh tidak menuntut suaminya untuk membayar sebagian atau keseluruhan maskawin yang telah ditetapkan atau suami membayar lebih dari maskawin yang telah ditetapkannya.

Asbabun Nuzul

Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i meriwayatkan bahwa Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Kami mendapatkan para tawanan wanita dari Authas yang mempunyai suami. Dan kami merasa tidak enak untuk menggauli mereka karena status mereka tersebut. Kami pun bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Lalu turunlah firman Allah, ‘Dan (dihararnkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki..” Maksudnya, ‘Kecuali para wanita yang kalian peroleh dari berperang.’ Dengan itu mereka pun menjadi halal untuk kami gauli.”

Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun ketika perang hunain. Ketika itu muslimin mendapatkan tawanan para wanita Ahli Kitab yang masih mempunyai suami. Ketika mereka akan didatangi, mereka berkata,”Saya masih bersuami.’ Rasulullah saw. pun ditanya tentang hal itu. Lalu Allah menurunkan ayat ini.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ma’mar bin Sulaiman bahwa ayahnya berkata, “Seorang Hadhrami mengatakan bahwa para lelaki dulu menetapkan atas dirinya untuk membayar mahar dalam jumlah tertentu. kemudian terkadang ia kesulitan untuk membayarnya. Maka turunlah firman Allah, ‘…dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.” (an-Nisaa’: 24)


Ayat 32

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

32.  Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Asbabun Nuzul

At-Tirmidzi dan al-Hakim meriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata, “Para lelaki berangkat berperang, sedangkan para wanita tidak. Dan kami juga hanya mendapatkan setengah bagian dan warisan.” Maka Allah menurunkan firman-Nya, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.” Dan Allah menurunkan pada Ummu Salamah, “Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim….” (al-Ahzaab: 35)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Pada suatu hari seorang wanita mendatangi Nabi saw.. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang lelaki mendapatkan bagian dua orang perempuan dan kesaksian dua orang perempuan sama dengan kesaksian satu orang lelaki. Apakah dalam amal ibadah juga nasib kami demikian? Jika seorang wanita melakukan kebajikan maka dia mendapatkan setengah pahala kebajikan?’ Maka Allah menurunkan, ‘Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain …,”hingga akhir ayat.”


Ayat 33

وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ ۗ وَالَّذِيْنَ عَقَدَتْ اَيْمَانُكُمْ فَاٰتُوْهُمْ نَصِيْبَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدًا ࣖ

33.  Bagi setiap (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, berikanlah bagian itu kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.

Asbabun Nuzul

Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya dari ibnu Ishaq bahwa Dawud ibnul Hushain berkata, “Dulu saya membacakan Al-Qur’an pada Ummu Sa’ad bintur Rabi’ Dulunya dia adalah anak yatim yang tinggal bersama Abu Bakar. Pada suatu hari saya membaca ayat, ‘Walladziina ‘aaqadat aimaanukum…,” (dengan ‘ain ber-mad). Dia berkata, ‘Bukan demikian, akan tetapi, ‘Walladziina ‘aqadat aimaanukum…,” (dengan ‘ain tidak ber-mad ). Ayat ini turun pada Abu Bakar dan anaknya, Abdurrahman, ketika dia tidak mau masuk Islam. Lalu Abu Bakar bersumpah bahwa dia tidak akan memberinya warisan. Maka ketika Abdurrahman masuk Islam, Abu Bakar diperintahkan untuk memberikan bagian warisan kepadanya.”


Ayat 34

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

34.  Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab 154) atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,155) berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.

154) Sebagai kepala keluarga, suami bertanggung jawab untuk melindungi, mengayomi, mengurusi, dan mengupayakan kemaslahatan keluarga.155) Maksud nusyuz adalah perbuatan seorang istri meninggalkan kewajibannya, seperti meninggalkan rumah tanpa rida suaminya.

Asbabun Nuzul

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasan aI-Bashri berkata, “Seorang wanita mendatangi Nabi saw. dan mengadu bahwa suaminya telah menamparnya. Beliau bersabda, ‘Balaslah sebagai ‘qishash-nya.’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),…’ Maka wanita itu kembali ke rumah, tanpa meng-qishash-nya.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari berbagai dari Hasan al-Bashri, dan di sebagian disebutkan, “Pada suatu ketika seorang lelaki Anshar menampar istrinya. Lalu istrinya mendatangi Nabi saw. untuk meminta diperbolehkan qishash. Lalu Nabi saw. menetapkan suaminya harus diqishas. Maka turunlah, ‘…Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (menbaca)Al-Quran sebelum selesai diwahyukan kepadamu,…” (Thaahaa: 114) Dan turun, ‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),…”(an-Nisaa’ : 34) Ibnu Jarir juga meriwayatkan semisalnya dari Ibnu Juraij dan as-Suddi.

Ibnu Mardawaih meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Seorang lelaki dari Anshar mendatangi Nabi saw. dengan istrinya. Lalu istrinya berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami saya ini telah memukul wajah saya hingga membekas.’ Rasulullah saw. pun bersabda, ‘Seharusnya dia tidak perlu melakukannya.’ Lalu Allah menurunkan ayat ini. Riwayat-riwayat ini menjadi syahid dan saling menguatkan.


Ayat 37

ۨالَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًاۚ

37. (Yaitu) orang-orang yang kikir, menyuruh orang (lain) berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.

Asbabun Nuzul

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Sa’id bin Jubair berkata, “Para ulama Bani Israel dulu sangat kikir untuk mengajarkan ilmu mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘(Yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya.”

Ibnu Abi Jarir meriwayatkan melalui Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Abi Muhammad dari Ikrimah atau Sa’id dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Kardum bin Zaid-sekutu Ka’b ibnul Asyraf, bersama Usamah bin Habib, Nafi’ bin Abi Nafi’, Bahri bin Amr, Huyay bin Akhthab, dan Rifa’ah bin Zaid ibnut Tabut mendatangi beberapa orang Anshar dan memberi nasihat kepada mereka, ‘Janganlah kalian sedekahkan harta kalian. Karena kami khawatir kalian akan menjadi fakir dengan hilangnya harta itu. Dan jangan terburu-buru kalian menyedekahkannya karena kalian tidak tahu apa yang akan terjadi.’ Maka Allah menurunkan ayat ini dan ayat selanjutnya.


Ayat 44

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ اُوْتُوْا نَصِيْبًا مِّنَ الْكِتٰبِ يَشْتَرُوْنَ الضَّلٰلَةَ وَيُرِيْدُوْنَ اَنْ تَضِلُّوا السَّبِيْلَۗ

44.  Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah diberi bagian (pengetahuan) dari Kitab (Taurat)? Mereka membeli kesesatan dan menghendaki agar kamu tersesat dari jalan (yang benar).

Asbabun Nuzul

lbnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Dulu Rifa’ah bin Zaid ibnut Tabut adalah salah seorang pembesar di kalangan orang-orang Yahudi. Setiap kali Rasulullah saw. menyampaikan sabdanya, dia selalu berkata, ‘Ar’ina sam’ak ya Rasulullah hingga kami dapat memahamkan kamu.’ Kemudian dia menjelek-jelekkan Islam dengan pengakuan palsunya. Maka Allah menurunkan firman-Nya padanya, ‘Tidakkah kamu memperhatikan orang yang telah diberi bagian Kitab (Taurat)? Mereka membeli kesesatan (dengan petunjuk)..’


Ayat 47

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اٰمِنُوْا بِمَا نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّطْمِسَ وُجُوْهًا فَنَرُدَّهَا عَلٰٓى اَدْبَارِهَآ اَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّآ اَصْحٰبَ السَّبْتِ ۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا

47.  Wahai orang-orang yang telah diberi Kitab, berimanlah pada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan Kitab yang ada padamu sebelum Kami mengubah wajah-wajah(-mu), lalu Kami putar ke belakang (sebagai penghinaan) atau Kami laknat mereka sebagaimana Kami melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabat (Sabtu). Ketetapan Allah (pasti) berlaku.

Asbabun Nuzul

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “suatu hari Rasulullah saw. berbicara kepada para pendeta Yahudi. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Shuriya dan Ka’b bin Usaid. Beliau bersabda, ‘Wahai orang-orang Yahudi, bertakwalah kepada Allah dan masuk Islamlah Demi Allah, kalian benar-benar tahu bahwa apa yang aku sampaikan adalah benar.’ Mereka berkata,”Tidak kami tidak tahu akan hal itu wahai Muhammad.’ Turunlah firman Allah pada mereka, ‘Wahai orang-orang yang telah diberi Kitab! Berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur’an)…’


Ayat 48

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

48.  Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa pun yang mempersekutukan Allah sungguh telah berbuat dosa yang sangat besar.

Asbabun Nuzul

Ibnu Abi Hatim dan ath-Thabrani meriwayatkan dari Abu Ayub al-Anshari bahwa pada suatu hari seseorang mengadu kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, seorang keponakan lelaki saya tinggal bersama saya. Dia selalu melakukan hal-hal yang diharamkan dan tidak mau meninggalkannya” Rasulullah saw. kemudian bertanya, “Apa agamanya?” Dia menjawab, “Dia melakukan shalat dan mengesakan Allah.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Mintalah agamanya darinya. Jika dia enggan melakukannya, belilah agamanya.” Lalu lelaki itu melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw.. Namun keponakannya enggan melakukannya. Kemudian lelaki itu mendatangi Rasulullah saw. kembali dan memberitahukan tentang hal itu, “Wahai Rasulullah, dia sangat mencintai agamanya.” Maka turunlah firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki..” (an-Nisaa’: 48)

 

Ayat 49

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ بَلِ اللّٰهُ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

49.  Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.

Asbabun Nuzul

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “orang-orang Yahudi menyuruh maju anak-anak mereka untuk memimpin sembahyang mereka dan mempersembahkan kurban-kurban mereka. Mereka mengira bahwa dengan itu mereka tidak mempunyai kesalahan dan dosa. Maka Allah menurunkan firman-Nya, “Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci (orang Yahudi dan Nasrani)?…” Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits serupa dari Ikrimah, Mujahid, Abu Malik, dan yang lain.


Ayat 51-54

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ اُوْتُوْا نَصِيْبًا مِّنَ الْكِتٰبِ يُؤْمِنُوْنَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوْتِ وَيَقُوْلُوْنَ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا هٰٓؤُلَاۤءِ اَهْدٰى مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا سَبِيْلًا اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ ۗوَمَنْ يَّلْعَنِ اللّٰهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ نَصِيْرًا اَمْ لَهُمْ نَصِيْبٌ مِّنَ الْمُلْكِ فَاِذًا لَّا يُؤْتُوْنَ النَّاسَ نَقِيْرًاۙ اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلٰى مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۚ فَقَدْ اٰتَيْنَآ اٰلَ اِبْرٰهِيْمَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاٰتَيْنٰهُمْ مُّلْكًا عَظِيْمًا

51.  Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang (Yahudi) yang telah diberi bagian (pengetahuan) dari Kitab (Taurat), (betapa) mereka percaya kepada jibt dan tagut 158) serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.

158) Jibt adalah setan dan apa saja yang disembah selain Allah Swt., sedangkan tagut biasanya disebutkan untuk orang yang keburukannya melampaui batas (lihat catatan kaki surah al-Baqarah/2: 256).

52.  Mereka itulah yang dilaknat Allah. Siapa pun yang dilaknat Allah niscaya engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapat penolong baginya.

53.  Ataukah mereka mempunyai bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Meskipun ada, mereka tidak akan memberikan (kebajikan) sedikit pun kepada manusia.

54.  Ataukah mereka dengki kepada manusia karena karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah menganugerahkan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim dan Kami telah menganugerahkan kerajaan (kekuasaan) yang sangat besar kepada mereka.

Asbabun Nuzul

Ahmad dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ketika Ka’b ibnul Asyraf datang ke Mekah, orang-orang Quraisy berkata, ‘Tidakkah kalian melihat orang yang bertahan terpisah dari kaunmya itu. Dia kira dia lebih baik dari kita, padahal kita adalah orang-orang yang selalu menunaikan haji, para pengabdi dan pemberi minum orang-orang yang melaksanakan haji.’ Ka’b ibnul Asyraf menjawab,”ya, kalian lebih baik darinya.’ Lalu turunlah ayat, ‘Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (al-Kautsar:3) Dan ayat, ‘Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Kitab (Taurat)?” hingga ‘…niscaya engkau tidak akan mendapatkan penolong baginya.” (an-Nisaa’: 51-52)

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Orang-orang yang menghasut Bani Quraisy, Ghathfan, dan Bani Quraizhah untuk memerangi Nabi saw. pada Perang Ahzab adalah Huyai bin Akhthab, Salam bin Abil Huqaiq, Abu Rafi ar-Rabi bin Abil Huqaiq, Abu Amir, dan Haudzah bin Qais Mereka semua adalah dari Bani Nadhir Ketika mereka mendatangi orang-orang Quraisy, orang-orang Quraisy berkata, ‘Para pendeta Yahudi itu adalah yang tahu tentang kitab-kitab yang lebih dulu diturunkan. Tanyalah mereka apakah agama kalian lebih baik ataukah agama Muhammad? Ketika ditanya tentang hal itu, para pendeta Yahudi tersebut menjawab Agama kalian lebih baik daripada agama Muhammad Dan kalian lebih mendapatkan petunjuk daripada dia dan para pengikutnya.’ Maka Allah menurunkan, ‘Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Kitab (Taurat)’ hingga ‘..dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar.” (an-Nisaa’: 51-54)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Aufi, dia berkata, “Ahli Kitab berkata, ‘Muhammad mengatakan bahwa dia diberi apa yang dia dapatkan adalah karena ketawadhuan, sedangkan dia mempunyai sembilan istri. Dan keinginannya hanyalah menikah saja Maka raja mana yang lebih utama dari dia. Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘…ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) (an-Nisaa’: 54)

Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan hadits yang serupa dengan di atas dari Umar dan maula Afrah, tapi isinya lebih ringkas.


Ayat 58

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

58.  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Asbabun Nuzul

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari al-Kalbi dari Abu Shaleh bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah saw. menaklukkan Mekah, beliau memanggil Utsman bin Thathah. Ketika Utsman bin Thalhah datang, Rasulullah saw. bersabda, ‘ Tunjukkanlah kunci Ka’bah kepadaku.’ Lalu dia datang kembali dengan membawa kunci Ka’bah dan menjulurkan tangannya kepada Rasulullah saw. sembari membuka telapaknya. Ketika itu juga al-Abbas bangkit lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, berikan kunci itu kepada saya agar tugas memberi minum dan kunci Ka’bah saya pegang sekaligus.’ Maka Utsman menggenggam kembali kunci itu. Rasulullah saw. pun bersabda, ‘Berikan kepadaku kunci itu, wahai Utsman.’ Maka Utsman berkata, ‘Terimalah dengan amanah Allah.’ Lalu Rasulullah saw. bangkit dan membuka pintu Ka’bah. Kemudian beliau melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah. Kemudian Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Rasulullah saw. agar beliau mengembalikan kunci itu kepada Utsman bin Thathah. Beliau pun memanggil Utsman dan memberikan kunci itu kepadanya. Kemudian beliau membaca firman Allah, “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,…” (an-Nisaa’: 58), hingga akhir ayat.”

Syu’bah meriwayatkan dalam tafsirnya dari Hajjaj dari lbnu Juraij, dia berkata, “Ayat ini turun pada Utsman bin Thalhah ketika Fathul Makkah. Setelah Rasulullah saw. mengambil kunci Ka’bah darinya, beliau masuk ke Ka’bah bersamanya. Setelah keluar dari Ka’bah dan membaca ayat di atas, beliau memanggil Utsman dan memberikan kunci Ka’bah kepadanya. Ketika itu Umar ibnul Khaththab berkata, ‘Sungguh saya tidak pernah mendengar beliau membaca ayat itu sebelumnya.’ Dan kata-kata Umar ini, tampak bahwa ayat ini turun di dalam Ka’bah.”


Ayat 59

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

59.  Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).

Asbabun Nuzul

Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun pada Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika dia diutus oleh Nabi saw. bersama satu pasukan.”

Al-Bukhari meriwayatkan secara ringkas seperti di atas. Ad-Dawudi berkata, “ini adalah kebohongan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas. Karena sesunggguhnya Abdullah bin Hudzafah memimpin serombongan pasukan. Dia marah dan memulai peperangan dengan berkata, ‘Serang!’ Sebagian dari pasukannya tidak mau melakukan perintahnya dan sebagian lagi ingin melaksanakannya” dia berkata lagi, “Jika ayat ini turun sebelum peristiwa ini, bagaimana mungkin ia mengkhususkan ketaatan kepada Abdullah bin Hudzafah dan tidak kepada yang lain? Dan jika ayat ini turun setelah peristiwa itu seharusnya hanya dikatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam kebaikan,’ dan bukan, ‘Mengapa kalian tidak menaatinya?” Al-Hafizh Ibnu Hajar menjawab pertanyaan ini bahwa maksud dari kisah ayat, “Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu…. ” adalah mereka berselisih dalam menunaikan perintah untuk taat dan tidak melaksanakan perintah itu karena menghindari api peperangan. Jadi, ayat ini sesuai jika turun pada mereka untuk memberitahukan mereka apa yang hendaknya mereka lakukan ketika berselisih, yaitu mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada Allah dan Rasulullah saw..

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa ayat ini turun pada peristiwa yang terjadi pada Ammar bin Yasir bersama Khalid bin Walid. Ketika itu Khalid bin Walid adalah gubernur. Pada suatu hari Ammar mengupah seseorang tanpa perintah Khalid, maka keduanya pun bertengkar. Lalu turunlah firman Allah di atas.


Ayat 60

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗوَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

60.  Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu (Al-Qur’an) dan pada apa yang diturunkan sebelummu? Mereka hendak bertahkim kepada tagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sangat jauh.

Asbabun Nuzul

Ibnu Abi Hatim dan ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa lbnu Abbas berkata, “Dulu Abu Barzah al-Aslami adalah seorang dukun, yang memutuskan perselisihan antara orang-orang Yahudi. Lalu beberapa orang muslim datang kepadanya untuk keperluan tersebut. Maka Allah menurunkan ayat ini dan dua ayat berikutnya.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah atau Sa’id bahwa Ibnu Abbas berkata, “Al-Jullas ibnush Shamit, Mu’tab bin Qusyair, Rafi’ bin Zaid, dan Bisyr mengaku-ngaku sebagai orang Islam. Lalu orang-orang muslim dari kaum mereka mengajak mereka untuk menyelesaikan persengketaan antar mereka dengan menyerahkannya kepada Rasulullah saw.. Namun mereka mengajak orang-orang muslim tersebut untuk mendatangi dukun. Maka pada mereka Allah menurunkan ayat ini.

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa asy-Sya’bi. seorang Yahudi berselisih dengan seorang munafik. Orang Yahudi itu berkata, “Saya akan menuntutmu kepada orang yang satu agama denganmu,’ atau dia berkata, ‘kepada Nabi Muhammad.’ Dia mengatakan hal itu karena tahu bahwa beliau tidak mengambil suap dalam memutuskan perkara. Keduanya terus berselisih dan akhimya mereka sepakat untuk mendatangi seorang dukun dari daerah Juhainah. Lalu turunlah firman Allah di atas.”


Ayat 65

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

65.  Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian, tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya.

Asbabun Nuzul

Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Abdullah bin Zubair berkata, “Saya berselisih dengan seseorang dari Anshar dalam masalah aliran air di Harrah. Kemudian kami mengadukannnya kepada Rasulullah saw.. Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Siramlah kebunmu terlebih dahulu wahai Jubair. Lalu alirkanlah airnya kepada tetanggamu.’ Mendengar keputusan itu, orang Anshar tersebut tidak terima lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah karena dia itu anak bibimu lalu engkau memutuskan demikian?’ Wajah Rasulullah saw. pun memerah karena marah. Beliau pun bersabda, ‘ Wahai Jubair, alirkanlah ke kebunmu. Lalu tahanlah airnya hingga memenuhi batas-batas di sekeliling pohon-pohon kurma kebunmu. Setelah itu alirkanlah ke kebun tetanggamu.” Rasulullah saw. memberikan hak Zubair sepenuhnya, padahal sebelumnya beliau mengusulkan hal yang lebih baik untuk keduanya. Zubair berkata, “Menurut saya pada peristiwa itulah turun ayat , ‘Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,… “

Ath-Thabrani dalam aI-Mu’jainul Kabiir dan al-Humaidi dalam Musnadnya meriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata, “Zubair mengadukan kepada Rasulullah saw. perselisihannya dengan seorang lelaki. Lalu Rasulullah saw. memutuskan untuk Zubair. Maka lelaki itu berkata, ‘Rasulullah memutuskan demikian karena Zubair itu anak bibinya.’ Maka turun firman Allah, ‘Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,…”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyib, tentang firman Allah, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman…,” hingga akhir ayat. Sa’id ibnul Musayyib berkata, “Ayat ini turun pada Zubair bin Awwam dan Hathib bin Balta’ah. Ketika keduanya berselisih tentang aliran air dan mengadukannya kepada Rasulullah saw. untuk meminta keputusan. Lalu Nabi saw. memutuskan agar air itu lebih dulu dialirkan pada tanah yang lebih tinggi setelah itu dialirkan pada tanah yang posisinya lebih rendah.”

Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan bahwa Abul Aswad berkata, “Dua orang mengadukan perselisihan mereka kepada Rasulullah saw. agar diberi keputusan. Lalu Rasulullah saw. memutuskan perselisihan mereka tersebut. Setelah itu, orang yang kalah berkata, ‘Kita adukan hal ini kepada Umar agar diputuskan olehnya.’ Lalu keduanya menemui Umar. Kemudian pihak yang menang berkata, “Rasulullah saw. memenangkan saya atas orang ini, Lalu dia mengajak saya untuk menyerahkannya kepadamu agar engkau memutuskannya.’ Lalu Umar bertanya kepada pihak yang kalah, “Apakah benar demikian?’ Dia menjawab, ‘Ya, benar.’ Maka Umar berkata,”Tunggulah di sini hingga saya datang untuk memutuskan perselisihan kalian ini.’ Kemudian Umar masuk ke rumah. Tidak lama kemudian dia keluar dengan menghunus pedang nya. Lalu dia langsung menebas orang yang mengajak untuk menyerahkan perkara itu kepadanya hingga mati Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman …” hingga akhir ayat. Hadits ini mursal dan ghariib. Di dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah. Namun hadits ini mempunyai penguat yang diriwayatkan oleh Rahim dalam tafsirnya dan Utbah bin Dhamrah dan ayahnya.


Ayat 66

وَلَوْ اَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ اَنِ اقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ اَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ مَّا فَعَلُوْهُ اِلَّا قَلِيْلٌ مِّنْهُمْ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ فَعَلُوْا مَا يُوْعَظُوْنَ بِهٖ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَاَشَدَّ تَثْبِيْتًاۙ

66.  Seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik), “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Seandainya mereka melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka, sungguh itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).

Asbabun Nuzul

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa as-Suddi berkata, “Ketika turun firman Allah, Dan sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka”. Tsabit bin Qais bin Syimas dan seorang lelaki Yahudi berdebat. Lelaki Yahudi itu berkata, ‘Demi Allah, Allah telah menetapkan kepada kami untuk membunuh diri kami, maka kami pun membunuh diri kami.’ Tsabit membalas, ‘Demi Allah, seandainya Allah mewajibkan atas kami untuk membunuh diri kami, pasti kami akan melakukannya.’ Lalu turunlah firman Allah,”. ..Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).


Ayat 69

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

69.  Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Asbabun Nuzul

Ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dengan sanad yang laa ba ‘sa bihi bahwa Aisyah berkata, “Seorang lelaki mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih saya cintai dari diri saya sendiri. Engkau lebih saya cintai dari anakku sendiri. Dan ketika saya berada di rumah saya mengingatmu, saya tidak kuasa menahan diri. Maka saya datang kemari untuk melihatmu. Namun saya ingat kematianku dan kematianmu. Engkau pun tahu bahwa ketika engkau masuk surga engkau akan diangkat bersama para nabi. Sedangkan saya, jika masuk surga, maka saya takut tidak dapat melihatmu.’ Nabi saw. tidak menjawab kata-kata orang itu sama sekali hingga Jibril datang dengan membawa firman Allah, ‘Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad)….” hingga akhir ayat.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Masruq berkata, “Para shahabat Nabi saw. berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami tidak ingin berpisah denganmu. Namun ketika engkau masuk surga, engkau akan diangkat di atas kami dan kami tidak dapat melihatmu.’ Lalu turunlah, ‘Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad)… ” hingga akhir ayat.

Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan bahwa Ikrimah berkata, “Seorang pemuda menemui Nabi saw. lalu dia berkata, ‘Wahai Nabi Allah, di dunia ini kami dapat melihatmu. Namun di hari kiamat kelak kami tidak dapat melihatmu karena engkau berada di surga yang paling tinggi.’ Lalu Allah menurunkan, ‘Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad),… ” hingga akhir ayat. Kemudian Rasulullah saw. bersabda kepadanya, ‘Insya Allah engkau bersamaku di surga.”

Ibnu Jarir meriwayatkan hadits yang serupa dari mursal Sa’id bin Jubair, Masruq, ar-Rabi’, Qatadah, dan as-Suddi.


Ayat 77

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ قِيْلَ لَهُمْ كُفُّوْٓا اَيْدِيَكُمْ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَۚ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ اِذَا فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللّٰهِ اَوْ اَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوْا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَۚ لَوْلَآ اَخَّرْتَنَآ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۗ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌۚ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقٰىۗ وَلَا تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

77.  Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang), tegakkanlah salat, dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba segolongan mereka (munafik) takut kepada manusia (musuh) seperti ketakutan mereka kepada Allah, bahkan lebih takut daripada itu. Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanyalah sedikit, sedangkan akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.”

Asbabun Nuzul

An-Nasa’i dan al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abdurrahman bin Auf dan beberapa rekannya mendatangi Nabi saw., lalu mereka berkata, “Wahai Nabi Allah, ketika kami masih musyrik, kami adalah orang-orang yang mulia. Namun ketika kami beriman kami menjadi orang-orang yang hina.” Rasulullah saw pun bersabda, Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musyrik itu. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau diperintahkan untuk memerangi musuh, namun orang-orang tadi (Abdurrahman bin Auf dkk.) enggan melakukannya. Maka turunlah firman Allah “Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dan berperang) ” hingga akhir ayat.


Ayat 83

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا

83.  Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ululamri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).

Asbabun Nuzul

Muslim meriwayatkan bahwa Umar ibnul Khaththab berkata, “Ketika Nabi saw. tidak mendatangi istri-istrinya, saya masuk ke dalam masjid. Di sana saya mendapati orang-orang mengetuk-ngetukkan jari-jari mereka pada kerikil-kerikil di lantai masjid. Dan mereka berkata, ‘Rasulullah saw. telah mencerai istri-istrinya.’ Maka saya segera bangkit dan saya berdiri di pintu masjid, lalu saya berseru dengan lantang, ‘Beliau tidak mencerai istri-istrinya!.”Lalu turunlah, ‘Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan…” Dan saya adalah orang yang ingin mengetahui hal itu.”


Ayat 88

۞ فَمَا لَكُمْ فِى الْمُنٰفِقِيْنَ فِئَتَيْنِ وَاللّٰهُ اَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوْا ۗ اَتُرِيْدُوْنَ اَنْ تَهْدُوْا مَنْ اَضَلَّ اللّٰهُ ۗوَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ سَبِيْلًا

88.  Mengapa kamu (wahai orang mukmin) (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah mengembalikan mereka (pada kekufuran) karena usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang yang telah dibiarkan sesat oleh Allah? Siapa yang dibiarkan sesat oleh Allah niscaya engkau (Nabi Muhammad) tidak akan menemukan jalan baginya (untuk diberi petunjuk).

Asbabun Nuzul

Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa saat Rasulullah saw. pergi ke Uhud untuk berperang, beberapa orang yang ada dalam rombongannya kembali ke Madinah. Para shahabat Nabi saw. yang menyaksikan hal itu terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengatakan,”kita bunuh saja mereka yang kembali itu.” Sedangkan satu kelompok lagi berkata, “Tidak, kita tidak akan membunuh mereka.” Maka turun firman-Nya, “Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam menghadapi orang-orang munafik,…” hingga akhir ayat.

Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Sa’ad bin Mu’adz berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw. berpidato dan bersabda, ‘Siapakah yang membelaku dari orang yang menyakitiku dan mengumpulkan di rumahnya orang yang menyakitiku?’ Sa’ad bin Mu’adz menyahut, ‘Jika dia dari Aus, kami segera membunuhnya. Jika dia dari saudara-saudara kami dari Khazraj, maka perintahkanlah kepada kami apa yang harus kami lakukan, dan kami akan menunaikannya.’ Lalu Sa’ad bin Ubadah bangkit dan berkata, ‘Wahai Ibnu Ubadah, kau benar-benar seorang munafik dan kau mencintai orang-orang munafik.’ Lalu Muhammad bin Maslamah pun berdiri dan berkata,”Diamlah kalian. Di antara kita ada Rasulullah saw.. Dia yang akan menyampaikan perintahnya kepada kila dan kita melaksarakannya.’ Lalu turunlah fiman Allah, “Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik…,” hingga akhir ayat.

Ahmad meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf bahwa beberapa orang Arab mendatangi Nabi saw. di Madinah. Lalu mereka masuk Islam. Lalu mereka terjangkit waba’ dan demam Madinah. Lalu mereka pun pergi meninggalkan Madinah dan ketika di jalan bertemu dengan beberapa orang shahabat. Para shahabat itu bertanya, “Mengapa kalian kembali?” Mareka menjawab, “Kami terjangkit waba Madinah” Para shahabat itu berkata lagi, ‘Bukankah kalian mempunyai teladan yang baik pada Rasulullah?” Sebagian dari para shahabat itu mengatakan, “Orang-orang Arab ini adalah orang-orang munafik.’ Namun sebagian lagi mengatakan,”Tidak, mereka tidak munafik.” Lalu turunlah firman Allah, “Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-onang munafik…,” hingga akhir ayat.


Ayat 90

اِلَّا الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ اِلٰى قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ اَوْ جَاۤءُوْكُمْ حَصِرَتْ صُدُوْرُهُمْ اَنْ يُّقَاتِلُوْكُمْ اَوْ يُقَاتِلُوْا قَوْمَهُمْ ۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوْكُمْ ۚ فَاِنِ اعْتَزَلُوْكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ وَاَلْقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ ۙ فَمَا جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلًا

90.  Kecuali, orang-orang yang menjalin hubungan dengan suatu kaum yang antara kamu dan kaum itu ada perjanjian (damai, mereka jangan dibunuh atau jangan ditawan). (Demikian juga) orang-orang yang datang kepadamu, sedangkan hati mereka berat untuk memerangi kamu atau memerangi kaumnya. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia berikan kekuasaan kepada mereka untuk menghadapi kamu sehingga mereka memerangimu. Akan tetapi, jika mereka membiarkanmu (tidak mengganggumu), tidak memerangimu, dan menawarkan perdamaian kepadamu (menyerah), Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.

Asbabun Nuzul

Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Hasan al-Bashri bahwa Suraqah bin Malik al-Mudliji memberi tahu mereka, “Ketika Nabi saw. memenangkan peperangan Badar dan Uhud dan orang-orang di sekitar mereka masuk Islam.” Suraqah juga berkata, “Saya lalu mendengar Muhammad akan mengirim Khalid bin Walid mendatangi kaumku, Bani Mudlij. Lalu saya mendatangi beliau dan berkata,”Engkau ingin mengirim Khalid bin Walid kepada kaumku, sedangkan saya ingin engkau berdamai dengan mereka. Jika kaummu berdamai, mereka pun akan berdamai dan akan masuk Islam. Dan jika mereka tidak masuk Islam, maka menangnya kaummu terhadap mereka bukan hal yang baik.’ Lalu Rasululläh saw. memegang tangan Khalid bin Walid dan berkata kepadanya, ‘Pergilah bersamanya, lalu lakukan apa yang diinginkannya.’ Kemudian Khalid mengajak mereka berdamai dengan syarat mereka tidak membantu orang-orang yang memusuhi Rasulullah saw.. Dan jika orang-orang Quraisy berdamai, mereka juga harus berdamai bersama orang-orang Quraisy tersebut. Dan Allah menurunkan firman-Nya, ‘Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai). . . , “Lalu orang yang minta perlindungan kepada mereka ikut dengan perjanjian mereka tersebut.”

Dikemukakan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata, “Firman Allah, ‘Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai)…,” turun pada Hilal bin Uwaimir al-Aslami dan Suraqah bin Malik ad-Mudliji, juga pada Bani Judzaimah bin Amir bin Abdi Manaf.”

Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Mujahid bahwa ayat ini turun pada Hilal bin Uwaimir al-Aslami. Ketika itu antara dia dan orang-orang muslim ada perjanjian. Lalu beberapa kaumnya mengajaknya untuk berperang, namun dia tidak ingin memerangi orangorang muslim juga tidak ingin memerangi kaumnya sendiri.


Ayat 92

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۗوَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

92.  Tidak patut bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin, kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, (hendaklah pembunuh) memerdekakan hamba sahaya mukminat. Jika dia (terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, (hendaklah pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan hamba sahaya mukminah. Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai (ketetapan) cara bertobat dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Asbabun Nuzul

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ikrimah berkata, “Al-Harits bin Yazid dan Bani Amir bin Lu’ay pernah menyiksa Ayyasy bin Abi Rabi’ah bersama Abu Jahl. Kemudian al-Harits masuk Islam dan hijrah ke Madinah. Ketika di Hirrah, dia bertemu dengan Ayyasy yang mengira dia masih musyrik. Maka Ayyasy pun membunuhnya. Kemudian Ayyasy mendatangi Nabi saw. dan memberi tahu beliau tentang hal itu. Lalu turun firman Allah, ‘Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)..,”hingga akhir ayat.”

Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Mujahid dan as-Suddi. Ibnu lshaq, Abu Ya’la, al-Harits bin Abi Usamah, dan Abu Muslim al-Kijji meriwayatkan hadits yang serupa dari al-Qasim bin Muhammad. Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Sa’id bin Jubair dari Jbnu Abbas.


Ayat 93

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا

93.  Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah (neraka) Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang sangat besar.

Asbabun Nuzul

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Ikrimah bahwa seorang lelaki dari Anshar membunuh saudara laki-laki Maqis bin Shababah. Lalu Nabi saw. memberi diyat kepada Maqis dan dia pun menerimanya. Namun kemudian dia menyerang si pembunuh saudaranya hingga mati. Maka Nabi saw. bersabda, “Saya tidak menjadi penjamin keamanannya baik di wilayah umum ataupun di tanah Haram.” Kemudian Maqis bin Shababah terbunuh pada Yaumul Fath. Ibnu Juraij berkata, “Padanya turun firman Allah, ‘Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja,…”


Ayat 94

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا ضَرَبْتُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَتَبَيَّنُوْا وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ اَلْقٰىٓ اِلَيْكُمُ السَّلٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًاۚ تَبْتَغُوْنَ عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۖفَعِنْدَ اللّٰهِ مَغَانِمُ كَثِيْرَةٌ ۗ كَذٰلِكَ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

94.  Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, bertabayunlah (carilah kejelasan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu, “Kamu bukan seorang mukmin,” (lalu kamu membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Demikianlah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Asbabun Nuzul

Al-Bukhari, at-Tirmidzi, at-Hakim, dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Seorang lelaki dari Bani Sulaim yang sedang menggiring ternaknya berpapasan dengan beberapa shahabat Nabi saw.. Lalu dia mengucapkan salam kepada mereka. Para shahabat berkata, “Dia mengucapkan salam kepada kita hanya untuk melindungi dirinya dari kita.” Lalu mereka pun menyergap lelaki itu dan membunuhnya. Kemudian mereka membawa kawanan kambingnya menemui Nabi saw.. Lalu turunlah firman AlIah,”Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah,…” hingga akhir ayat.

Al-Bazzar meriwayatkan dari lain bahwa Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah saw. mengirim pasukan yang di dalamnya terdapat al-Miqdad. Ketika sampai di tempat musuh, mereka mendapati para musuh tersebut telah meninggalkan daerah mereka. Hanya tersisa seorang lelaki yang mempunyai banyak harta. Ketika melihat pasukan muslim, lelaki itu mengucapkan Liaa ilaaha illallaah. Namun, al-Miqdad tetap membunuhnya. Ketika kembali ke Madinah, Nabi saw, berkata kepada aIMiqdad, ‘Bagaimana kelak engkau menghadapi Laailaaha illallaah ? “Dan Allah menurunkan ayat ini.”

Ahmad, ath-Thabrani, dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Abdullah bin Abi Hadrad al-Aslami berkata,”Rasulullah saw. mengutus kami bersama serombongan orang-orang muslim yang di dalamnya terdapat Qatadah dan Muhallim bin Jatstsamah. Lalu kami berpapasan dengan Amir ibnul Adhbath al-Asyja’i. Kemudian dia mengucapkan salam kepada kami. Namun, Muhallim menyerangnya dan akhirnya membunuhnya. Ketika kami sampai di Madinah, kami memberi tahu beliau tentang peristiwa itu. Lalu turun pada kami firman Allah, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah,…’ hingga akhir ayat.” Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Ibnu Umar.

Ats-Tsa’labi meriwayatkan dari al-Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas bahwa nama orang yang terbunuh adalah Mirdas bin Nahik yang berasal dan Fadak. Dan nama pembunuhnya adalah Usamah bin Zaid. Adapun nama ketua rombongan pasukan adalah Ghalib bin Fadhalah al-Laitsi. Kisahnya adalah ketika kaum Mirdas kalah dalam peperangan dan hanya dia yang tersisa. Dia bersembunyi dengan kambing-kambingnya di sebuah gunung. Ketika orang-orang muslim berhasil menemukannya, dia pun berkata, “Laa iIaha illallahh, Muhammadurrasuulullaah, “(Tiada tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah). Assalaamu’alaikum.” Lalu Usamah membunuhnya. Ketika mereka kembali ke Madinah, turun firman Allah di atas.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari as-Suddi dan Abd meriwayatkan dari Qatadah isi hadits yang serupa.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah dari Abiz Zubair bahwa Jabir berkata, “Firman Allah, ‘…dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’kepadamu,..” turun pada Mirdas.” Riwayat ini adalah penguat yang bagus.

Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa Juz’u bin Hadrajan berkata, “Saudara Miqdad datang dari Yaman menuju Madinah untuk menemui Nabi saw.. Ketika di perjalanan dia bertemu dengan pasukan yang dikirim Nabi saw.. Saudara Miqdad berkata kepada mereka, ‘Saya adalah orang mukmin.’ Namun mereka tidak mempercayai pengakuannya dan membunuhnya. Kemudian berita tentang hal itu sampai kepadaku. Saya pun menghadap Nabi saw.. Lalu turun firman Allah, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah,… “hingga akhir ayat. Lalu Nabi saw. memberikan kepadaku diyat untuk saudaraku yang terbunuh.”

 

Ayat 95

لَا يَسْتَوِى الْقٰعِدُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ غَيْرُ اُولِى الضَّرَرِ وَالْمُجٰهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ فَضَّلَ اللّٰهُ الْمُجٰهِدِيْنَ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقٰعِدِيْنَ دَرَجَةً ۗ وَكُلًّا وَّعَدَ اللّٰهُ الْحُسْنٰىۗ وَفَضَّلَ اللّٰهُ الْمُجٰهِدِيْنَ عَلَى الْقٰعِدِيْنَ اَجْرًا عَظِيْمًاۙ

95.  Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) tanpa mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa uzur). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang terbaik (surga), (tetapi) Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar.

Asbabun Nuzul

Al-Bukhari meriwayatkan bahwa al-Barra’ berkata,”Ketika turun firman Allah, ‘Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan).. ., “hingga akhir ayat.” Nabi saw. bersabda, “Panggil si fulan.” Lalu si fulan itu datang dengan membawa tinta, papan, dan alat tulis lainnya. Kemudian beliau berkata kepadanya, “Tulislah,”Laa yastawil qaa’iduuna minal mu’miniina wal mujaahiduuna fi sabiililah (Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah).” Ketika itu Ibnu Ummi Maktum ada di belakang Nabi saw.. Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, tapi saya buta.” Maka turun firman Allah melengkapi ayat di atas, “Laa yastawil qaa’iduuna minal mu’miniina ghairu ulidh dharari wal mujaahiduuna fi sabiilillah [Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah…] ” Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit.

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Zaid bin Arqam dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari al-Faltan bin Ashim hadits yang serupa dengan diatas.

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari Ibnu Abbas. Di dalamnya disebutkan, “Abdullah bin Jahsy dan Ibnu Ummi Maktum berkata,”Tapi kami adalah orang-orang yang buta.” Hadits-hadits mereka telah saya sebutkan di dalam Turjumaanul Qur’an. Jarir meriwayatkan hadits yang serupa dari banyak yang mursal.


Ayat 97

اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ

97.  Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi dirinya, 161) mereka (malaikat) bertanya, “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi (Makkah).” Mereka (malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di sana?” Maka, tempat mereka itu (neraka) Jahanam dan itu seburuk-buruk tempat kembali.

161) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa orang muslim yang tidak ikut hijrah ke Madinah dan terpaksa ikut dalam Perang Badar di pihak pasukan musyrik, kemudian mereka terbunuh dalam perang itu (Riwayat al-Bukhari).

Asbabun Nuzul

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beberapa orang muslim dulu tinggal bersama orang-orang musyrik sehingga memperbanyak jumlah orang-orang musyrik yang menyerang Rasulullah saw Lalu terkadang anak panah yang dilemparkan orang-orang muslim yang bersama Rasulullah saw mengenai salah satu dari orang-orang muslim tersebut hingga terbunuh atau mati karena tertebas pedang orang-orang muslim yang bersama Rasulullah saw. tersebut Maka turun firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri,…”

Ibnu Mardawaih meriwayatkannya juga dan menyebutkan nama-nama mereka, yaitu Qais ibnul Walid ibnul Mughirah, Abu Qais ibnul Fakih ibnul Mughirah, al-Walid bin Utbah bin Rabi’ah, Amr bin Umayyah bin Sufyan, dan Ali bin Umayyah bin Khalaf. Dia menyebutkan bahwa mereka pergi ke Badar. Ketika melihat sedikitnya jumlah orang-orang muslim, mereka pun menjadi ragu. Mereka berkata, “Agama mereka membuat mereka sombong.” Lalu mereka pun terbunuh di Badar.

Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dan menambahkan beberapa nama, yaitu al-Harts bin Zam’ah ibnul Aswad dan al-Ash bin Munabbih ibnul Hajjaj. Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Dulu orang-orang Mekah sudah masuk Islam. Ketika Rasulullah saw. hijrah, sebagian mereka enggan dan takut untuk berhijrah. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri mereka (para malaikat) bertanya, ‘Bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)’ Mereka (para malaikat) bertanya, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?’Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali. kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)” (an-Nisaa’: 97-98)

Ibnul Mundzir dan Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata,”Beberapa orang dari penduduk Mekah telah masuk Islam dan mereka menyembunyikan keislaman mereka. Lalu orang-orang musyrik menyertakan mereka pada Perang Badar sehingga di antara mereka ada yang terbunuh. Orang-orang muslim pun berkata, ‘Mereka adalah orang-orang muslim, lalu mereka dipaksa untuk ikut berperang. Mohon ampunlah untuk mereka.’ Lalu turun firman Allah ‘Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri.’ Lalu orang-orang muslim mengirimkan surat yang di dalamnya dibubuhkan firman Allah itu kepada orang-orang muslim yang masih di Mekah. Dalam surat tersebut juga tertulis bahwa tidak ada lagi uzur bagi mereka. Kemudian mereka pun meninggalkan Mekah. Lalu orang-orang musyrik menyusul mereka dan menyakiti mereka sehingga mereka pun kembali lagi ke Mekah. Lalu turun firman Allah, ‘Dan di antara manusia ada sebagian yang berkata,”Kami beriman kepada Allah,’tetapi apabila dia disakiti (karena dia beriman) kepada Allah, dia menganggap cobaan manusia itu sebagai siksaan Allah….” (aI-Ankabuut: 10) Lalu orang-orang muslim mengirim surat lagi kepada mereka dengan membubuhkan firman Allah ini. Mereka pun merasa sangal sedih. Lalu turun firman Allah, ‘Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan,…” hingga akhir ayat 110 dari surah an-Nahl. Mereka pun keluar dari Mekah menuju Madinah. Lalu orang-orang musyrik kembali menyusul mereka. Maka di antara mereka ada yang selamat dan ada yang terbunuh.”

lbnu Jarir juga meriwayatkan hadits yang serupa dengan di atas dari banyak .


Ayat 100

۞ وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ

100.  Siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang banyak dan kelapangan (rezeki dan hidup). Siapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian meninggal (sebelum sampai ke tempat tujuan), sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Asbabun Nuzul

Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya’la meriwayatkan dengan sanad jayyid bahwa Ibnu Abbas berkata, “Dhamrah bin Jundab keluar dari rumahnya untuk hijrah. Dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Bawalah aku keluar dari negeri orang-orang musyrik ini menuju Rasulullah saw..’ Ketika di perjalanan dia meninggal dunia sebelum sampai kepada Nabi saw.. Lalu turunlah firman Allah, ‘.. . Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya,…”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Dhamrah az-Zuraqi yang ketika itu sedang di Mekah. Ketika turun firman Allah, ‘Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah),’ (an-Nisaa’: 98) Abu Dhamrah berkata, “Saya adalah orang yang kaya dan memiliki kemampuan untuk hijrah.” Lalu dia bersiap-siap untuk hijrah ke Madinah, namun dia meninggal dunia di Tan’im. Lalu turun firman Allah swt, ‘.. .Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya…”

Ibnu Jarir meriwayatkan hadits yang serupa dari Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Qatadah, as-Suddi, adh-Dhahak, dan yang lainnya, dan di sebagian disebutkan Dhamrah ibnul ‘Aish atau al-Aish bin Dhamrah. Sedangkan di sebagian Jundab bin Dhamrah al-Junda’i, di sebagiannya lagi ad-Dhamri. Di sebagian disebutkan, “Seorang lelaki dari Bani Dhamrah.” Di sebagian yang lain disebutkan, “Seorang lelaki dari Bani Khuza’ah.” Di sebagian yang lain disebutkan, “Seorang lelaki dari Bani Laits.” Dan di sebagian yang lain disebutkan, “Seorang lelaki dari Bani Bakar Kinanah.” Dan di sebagian yang lain disebutkan, “Bani Bakar.”

Ibnu Sa’ad dalam kitab ath-Thabaqaatul Kubra meriwayatkan dari Yazid bin Abdillah bin Qisth bahwa Jundab bin Dhamrah ketika di Mekah jatuh sakit. Lalu dia berkata kepada anak-anaknya, “Bawa aku keluar dari Mekah. Sungguh kesulitan di dalamnya telah membunuhku.” Anak-anaknya pun bertanya, “Kemana kami membawamu?” Dia pun menunjuk ke arah Madinah dan ingin hijrah. Lalu mereka membawanya ke arah Madinah. Ketika sampai di aliran air Bani Ghaffar dia meninggal dunia. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, “…Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya….”

Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mandah, dan al-Barudi dalam ash-Shahabali meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Zubair bin Awwam berkata, “Ketika Khalid bin Haram berhijrah ke Ethiopia (Habasyah), dia digigit ular di perjalanan. Lalu dia meninggal dunia. Maka turun padanya firman Allah,”.. .Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya..” Al-Umawi meriwayatkan dalam kitab Maghaazi-nya bahwa Abdul Malik bin Umair berkata, “Ketika Aktsam bin Shaifi mendengar berita tentang diangkatnya Muhammad saw. menjadi Rasul Allah, dia ingin mendatanginya. Namun kaumnya tidak membiarkannya menemui beliau. Dia pun berkata,”Datangkan orang yang mau menyampaikan pesanku kepadanya dan menyampaikan pesannya kepadaku.’ Lalu dia mengutus dua orang untuk mendatangi Rasulullah saw.. Ketika sampai di hadapan beliau, mereka berdua berkata, ‘Kami adalah utusan Aktsam bin Shaifi. Dia bertanya kepadamu,”Siapakah engkau? Apa kedudukan engkau? Dan apa yang engkau bawa?” Rasulullah saw. menjawab, ‘Saya adalah Muhammad bin Abdillah. Dan saya adalah hamba dan rasul Allah.’ Kemudian beliau membacakan firman Allah, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kermungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl: 90) Kemudian keduanya kembali dan menemui Aktsam dan berkata kepadanya tentang apa yang dikatakan dan dibacakan Rasulullah saw.. Maka Aktsam berkata, ‘Wahai orang-orang, sesungguhnya dia memerintahkan akhlak yang mulia dan melarang perilaku-perilaku yang tercela. Jadilah kalian para tokoh terdepan dalam hal ini dan janganlah kalian hanya jadi pengekor di dalamnya.’ Lalu dia menunggangi untanya menuju Madinah. Namun, dia meninggal dunia di peialanan. Maka turunlah padanya firman Allah, Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya (an-Nisaa’: 100)

Riwayat ini mursal dan sanadnya adalah lemah.

Abu Hatim meriwayatkan dalam kitab al-Mu’ammariin dari dua dari Ibnu Abbas, bahwa dia ditanya tentang ayat ini. Ibnu Abbas menjawab, “Ayat ini turun pada Aktsam bin Shaifi.” Ketika dia ditanya, “Lalu mana al-Laitsi?” Dia menjawab, “Dia lama sebelum al-Laitsi. Dan ayat ini bersifat khusus dan umum sekaligus.”


Ayat 101

وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

101.  Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar salat jika kamu takut diserang orang-orang yang kufur. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Asbabun Nuzul

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Beberapa orang dari Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah saw.,”Wahai Rasulullah, apabila kami bepergian, bagaimana kami shalat?’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar shalat,…’ Kemudian wahyu tidak turun untuk beberapa waktu. Satu tahun setelah itu, Nabi saw. berperang. Di sela-sela peperangan itu beliau melakukan shalat zhuhur. Orang-orang musyrik yang menyaksikan hal itu berkata, ‘Kalian telah memberi kesempatan Muhammad dan para shahabatnya untuk melakukan shalat zhuhur. Coba kalian lebih keras terhadap mereka agar tidak sempat melakukannya.’ Lalu seseorang dan mereka menyahut, ‘Sesungguhnya setelah ini mereka akan mengerjakan satu sembahyang lagi seperti yang mereka lakukan itu.’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya di waktu antara shalat ashar dan zhuhur, ‘…jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (an-Nisaa’: 101) Maka turunlah syariat shalat khauf.


Ayat 102

وَاِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلٰوةَ فَلْتَقُمْ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوْٓا اَسْلِحَتَهُمْ ۗ فَاِذَا سَجَدُوْا فَلْيَكُوْنُوْا مِنْ وَّرَاۤىِٕكُمْۖ وَلْتَأْتِ طَاۤىِٕفَةٌ اُخْرٰى لَمْ يُصَلُّوْا فَلْيُصَلُّوْا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوْا حِذْرَهُمْ وَاَسْلِحَتَهُمْ ۚ وَدَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ تَغْفُلُوْنَ عَنْ اَسْلِحَتِكُمْ وَاَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيْلُوْنَ عَلَيْكُمْ مَّيْلَةً وَّاحِدَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ كَانَ بِكُمْ اَذًى مِّنْ مَّطَرٍ اَوْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَنْ تَضَعُوْٓا اَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوْا حِذْرَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ اَعَدَّ لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًا

102.  Apabila engkau (Nabi Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu dan dalam keadaan takut diserang), lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) bersamamu dengan menyandang senjatanya. Apabila mereka (yang salat bersamamu) telah sujud (menyempurnakan satu rakaat), hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh). Lalu, hendaklah datang golongan lain yang belum salat agar mereka salat bersamamu 162) dan hendaklah mereka bersiap siaga dengan menyandang senjatanya. Orang-orang yang kufur ingin agar kamu lengah terhadap senjata dan harta bendamu, lalu mereka menyerbumu secara tiba-tiba. Tidak ada dosa bagimu meletakkan senjata jika kamu mendapat suatu kesusahan, baik karena hujan maupun karena sakit dan bersiap siagalah kamu. 163) Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir.

162) Salah satu cara salat khauf adalah jamaah dibagi menjadi dua kelompok. Apabila imam telah menyelesaikan satu rakaat bersama kelompok pertama, kelompok kedua melakukan rakaat itu dan imam dalam keadaan menunggu. Begitu selanjutnya secara bergantian hingga kedua kelompok tersebut melakukan salam bersama dengan imam.-><-163) Tata cara salat khauf yang dijelaskan pada ayat ini dipraktikkan dalam kondisi yang masih memungkinkan untuk mengerjakan salat. Apabila tidak memungkinkan, salat dikerjakan sedapat-dapatnya.

Asbabun Nuzul

Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi dalam kitab Dalaa’ilun Nubuwaah-dia juga menshahihkannya-meriwayatkan bahwa Abi Ayyasy az-Zuraqi berkata,—”Pada suatu ketika kami bersama Rasulullah saw. di Asfan. Di sana kami bertemu dengan orang-orang musyrik yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Posisi mereka adalah antara kami dan Kiblat. Lalu Rasulullah saw. memimpin kami melakukan shalat zhuhur. Maka orang-orang musyrik berkata, ‘Sungguh mereka tadi dalam kondisi lengah dan bisa kita menyerangnya.’ Setelah beberapa saat mereka berkata lagi, ‘Saat ini tiba waktu mereka melakukan shalat dan itu Iebih mereka senangi dari pada anak-anak dan diri mereka sendiri.’ Lalu Jibril turun kepada Rasulullah saw. di antara waktu zhuhur dan ashar menyampaikan ayat, ‘Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka,…”

At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Abu Hurairah. Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits serupa dari Jabir bin Abdillah dan Ibnu Abbas.

Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Firman Allah, ‘…Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit,…”(an-Nisaa’: 102), turun pada Abdurrahman bin Auf ketika menderita luka-luka.”

At-Tirmidzi, al-Hakim, dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Qatadah ibnun Nu’man berkata, “Di antara kerabat kami ada yang bernama Basyar, Basyir, dan Mubasysyar. Mereka adalah anak-anak Ubairiq. Basyir adalah seorang munafik. Dia merangkai syair untuk mengejek para shahabat Nabi saw., kemudian mendapatkan timbalan dari beberapa orang Arab. Dia berkata, ‘Si fulan berkata begini….’ Dan mereka adalah orang miskin ketika masa jahiliah dari setelah Islam. Adapun makanan mereka (kaum miskin itu) adalah kurma dan gandum dari Madinah. Kemudian paman saya, Rifa’ah bin Zaid, membeli tepung Sebanyak satu bawaan unta. Kemudian dia meletakkannya di salah satu ruangan di dalam rumahnya yang juga terdapat senjata, baju perang dan pedang miliknya Lalu kamarnya itu dibobol dari bawah dan bahan makanan serta senjatanya diambil. Ketika pagi tiba, paman saya, Rifa’ah mendatangi saya lain berkata,”Wahai keponakanku, ruangan di rumah kita dibobol tadi malam Makanan dan senjata yang ada di dalamnya diambil.’ Kami segera menyelidiki seluruh rumah kami Kami bertanya kepada orang-orang, lalu ada seseorang berkata, ‘Tadi malam kami melihat anak-anak Ubairiq menyalakan api untuk masak dan kami melihat itu adalah bahan makanan kalian.

Ketika kami sedang menanyakan tentang hal itu, anak-anak Ubairiq berkata, ‘Demi Allah, menurut kami Labid bin Sahl, salah seorang dari kita yang saleh dan agamanya bagus, yang mencurinya.’ Ketika mendengar tuduhan itu, Labid menghunus pedangnya dan berkata kepada anak-anak Ubairiq, ‘Apa? Saya mencuri? Demi Allah, pedang ini akan menebas kalian atau kalian akan menjelaskan kebenaran pencurian ini!’ Anak-anak Ubairiq pun berkata, Menjauhlah dari kami engkau bukanlah pemilik barang-barang itu (bukan pencuri)’ Lalu kami menanyakan kembali tentang makanan itu agar kami tidak ragu lagi bahwa mereka benar-benar pemiliknya. Lalu paman saya berkata kepada saya,”Keponakanku, coba engkau temui Rasulullah saw. dan kau ceritakan tentang hal ini.’ Lalu saya menemui Rasulullah saw. dan berkatakan kepada beliau,”Di antara kerabat kami ada orang-orang yang berwatak keras. Mereka membobol salah satu ruangan di rumah saya, lalu mengambil senjata dan bahan makanan yang ada di dalamnya.

Kami meminta mereka mengembalikan senjata kami. Adapun makanan, kami tidak lagi membutuhkannya.’ Rasulullah saw. pun bersabda, ‘Akan saya pikirkan hal ini.’ Ketika anak-anak Ubairiq mendengar aduan itu, mereka mendatangi salah seorang dari keluarga mereka yang bemama Asir bin Urwah dan memberi tahunya tentang hal itu. Kemudian beberapa orang dari keluarga mereka berkumpul dan menemui Rasulullah saw. Dan berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah dan pamannya menuduh keluarga kami, orang-orang Islam yang baik, telah mencuri tanpa ada bukti.’ Qatadah berkata, ‘Lalu kami mendatangi Rasulullah saw.. Kemudian beliau bertanya kepada saya, ‘Engkau menuduh satu keluarga yang dikenal sebagai orang Islam dan orang baik telah mencuri tanpa ada bukti.’ Saya pun kembali ke rumah. Lalu saya memberi tahu paman saya tentang hal itu. Dia pun berkata, ‘Hanya Allah tempat meminta pertolongan.’ Tidak lama dan itu, turunlah firman Allah, ‘Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat, dan mohonkanlah ampunan kepada Allah.

Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa, mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah, karena Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya.

Dan Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan. Itulah kamu! Kamu berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini, tetapi siapa yang akan menentang Allah untuk (membela) mereka pada hari Kiamat?Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap azab Allah)? Dan barang siapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan barangsiapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesulitan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Dan barangsiapa berbuat kesalahan atau dosa, kemudian dia tuduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sungguh, dia telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata. Dan kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (Muhammad), tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka hanya menyesakan dirinya sendiri, dan tidak membahayakanmu sedikit pun. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) dan Hikrnah (Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.” (an-Nisaa’:105-113) Maksud, ‘..orang-orang yang khianat,”adalah orang-orang dari bani Ubairiq. ‘Dan mohonlah ampun kepada Allah,”wahai Muhammad dari apa yang kau katakan kepada Qatadah.

Ketika ayat ini turun, Rasulullah saw. menyerahkan senjata itu kepada Rifa’ah. Sedangkan Basyir, dia mendatangi orang-orang musyrik lalu singgah di tempat Sulafah binti Sa’ad. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali. Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali.” (an-Nisaa’: 115-116)

Al-Hakim berkata, ‘Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.’

Ibnu Sa’ad, dalam kitab ath-Thabaqaat, meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Mahmud bin Labid berkata, “Basyir ibnul Harts memasuki ruang di atas rumah Rifa’ah bin Zaid, paman Qatadah bin Nu’man, dengan paksa dan membobolnya dari bagian belakang. Lalu dia mengambil makanannya, baju perangnya, serta peralatan keduanya. Lalu Qatadah mendatangi Nabi saw. dan mengadukan hal itu. Beliau pun memanggil Basyir dan menanyakan hal itu. Namun, dia tidak mengakuinya. Dia malah menuduh Labid bin Sahl, salah seorang dari keturunan terhormat, yang telah melakukannya.

 Lalu Allah menurunkan firman-Nya yang menyatakan kebohongan Basyir dan menjelaskan ketidakbersalahan Labid, “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia.. .,”hingga akhir ayat. Ketika ayat itu turun, Basyir melarikan diri ke Mekah dalam keadaan murtad. Lalu dia singgah di tempat Salamah binti Sa’d dan menjelek-jelekkan Nabi saw. serta orang-orang muslim. Turunlah firman Allah padanya, “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad)…” (an-Nisaa’: 115) Hasan bin Tsabit pun mengejeknya dengan syairnya hingga dia kembali pada bulan Rabi’ul tahun empat Hijriah.


Ayat 123

لَيْسَ بِاَمَانِيِّكُمْ وَلَآ اَمَانِيِّ اَهْلِ الْكِتٰبِ ۗ مَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا يُّجْزَ بِهٖۙ وَلَا يَجِدْ لَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا

123.  (Pahala dari Allah) bukanlah (menurut) angan-anganmu 168) dan bukan (pula menurut) angan-angan Ahlulkitab. Siapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan dibalas sesuai dengan (kejahatan itu) dan dia tidak akan menemukan untuknya pelindung serta penolong selain Allah.

168) Kata angan-anganmu dalam ayat ini menurut sebagian ahli tafsir merujuk kepada umat Islam, tetapi ada juga yang meyakini bahwa kata itu merujuk kepada kaum musyrik. Maksudnya adalah bahwa pahala di akhirat tidak menurut angan-angan mereka, tetapi sesuai dengan ketentuan agama.

Asbabun Nuzul

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Tidak akan masuk surga selain kami.’ Sedangkan orang-orang Quraisy berkata, ‘Kami tidak akan dibangkitkan kembali setelah mati.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan Ahli Kitab.”

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Masruq berkata, “Orang-orang Nasrani dan orang-orang Islam saling membangga-banggakan diri. Orang-orang Nasrani berkata, ‘Kami lebih baik dari kalian.’ Orang-orang Islam juga membalas, ‘Kami lebih baik dari kalian.’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan Ahli Kitab.”

Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits yang serupa dari Qatadah, adh-Dhahak, as-Suddi, dan Abu Shaleh. Sedangkan lafal dari mereka adalah, “Para pemeluk berbagai agama saling membangga-banggakan diri mereka….” Dalam lafal lain, “Pada suatu hari beberapa orang Yahudi, orang Nasrani, dan beberapa orang Islam duduk-duduk. Lalu sebagian mereka berkata, ‘Kami lebih baik dari kalian.’ Sebagian lagi membalas,”Kamilah yang lebih baik.’ Lalu turunlah firman Allah di atas.”

Ibnu Jarir juga meriwayatkan bahwa Masruq berkata, “Ketika firman Allah, ‘(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan Ahli Kitab,”orang-orang dari Ahli Kitab berkata, “Kami dan kalian adalah sama saja.’ Maka turunlah firman Allah, ‘Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” (an-Nisaa’: 124)

 

Ayat 127

وَيَسْتَفْتُوْنَكَ فِى النِّسَاۤءِۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِيْهِنَّ ۙوَمَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ فِيْ يَتٰمَى النِّسَاۤءِ الّٰتِيْ لَا تُؤْتُوْنَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُوْنَ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْوِلْدَانِۙ وَاَنْ تَقُوْمُوْا لِلْيَتٰمٰى بِالْقِسْطِ ۗوَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِهٖ عَلِيْمًا

127.  Mereka meminta fatwa kepada engkau (Nabi Muhammad) tentang perempuan. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, 169) dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’an tentang para perempuan yatim yang tidak kamu berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan untuk mereka, sedangkan kamu ingin menikahi mereka, 170) serta (tentang) anak-anak yang tidak berdaya. (Allah juga memberi fatwa kepadamu) untuk mengurus anak-anak yatim secara adil. Kebajikan apa pun yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.

169) Lihat surah an-Nisā’/4: 2‒3.-><-170) Menurut adat Arab Jahiliah, seorang wali berkuasa atas perempuan yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa atas hartanya. Jika perempuan yatim itu cantik, wali akan menikahi dan menguasai hartanya. Jika perempuan yatim itu buruk rupanya, wali menghalanginya menikah dengan laki-laki lain agar dia tetap dapat menguasai hartanya. Ayat ini melarang kebiasaan itu.

Asbabun Nuzul

Al-Bukhani meriwayatkan dari Aisyah tentang ayat ini dia berkata, “Yang dimaksud ayat ini adalah seorang lelaki yang mengasuh seorang anak perempuan yatim. Lelaki itu sendiri adalah wali dari pewarisnya. Dia ikut makan dari harta anak perempuan yatim itu hingga dari pohon kurmanya. Dia sendiri ingin menikahinya dan tidak ingin menikahkannya dengan orang lain karena khawatir suaminya kelak akan ikut mengambil bagian dari harta anak yatim itu. Maka dia pun menahannya agar tidak menikah dengan orang lain. Lalu turun firman Allah di atas.”

lbnu Abi Hatim meriwayatkan dari as-Suddi bahwa Jabir mempunyai seorang putri pamannya yang tidak cantik. Putri pamannya itu mempunyai harta warisan dari ayahnya. Jabir tidak ingin menikahinya, namun juga tidak ingin menikahkannya dengan orang lain karena khawatir suaminya akan mengambil hartanya. Lalu dia bertanya kepada Nabi saw.. Kemudian turunlah firman Allah di atas.


Ayat 128

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

128.  Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz 171) atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. 172) Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. 173) Jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh) sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. 

171) Lihat arti nusyuz bagi pihak istri dalam catatan kaki surah an-Nisā’/4: 34. Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau menggaulinya, dan tidak mau memberikan haknya.-><-172) Contohnya, istri bersedia dikurangi beberapa haknya asal suami mau kembali berbaik-baik dengannya.-><-173) Sudah menjadi tabiat manusia untuk enggan melepaskan sebagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya. Kendatipun demikian, jika istri melepaskan sebagian haknya, suami diperbolehkan menerimanya.

Asbabun Nuzul

Abu Dawud dan al-Hakim meriwayatkan bahwa Aisyah berkata, “Saudah takut dicerai oleh Rasulullah saw. ketika usianya semakin tua. Maka dia berkata, ‘Hariku bersama beliau saya berikan kepada Aisyah.’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh,… “hingga akhir ayat.”

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dengannya dari Ibnu Abbas.

Sa’id bin Manshur juga meriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyib bahwa putri Muhammad bin Maslamah adalah istri Rafi’ bin Khudaij. Lalu Rafi’ menjadi tidak suka terhadapnya, entah karena sudah tua atau yang lainnya, lalu dia ingin mencerainya. Maka istrinya itu. berkata, “Jangan kau cerai aku. Aku rela menerima apa saja yang akan kau berikan kepadaku.” Lalu turunlah firman Allah, “Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh…,” hingga akhir ayat.

Al-Hakim meriwayatkan bahwa Aisyah berkata, “Firman Allah, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)…,’ turun pada seorang lelaki yang mempunyai seorang istri yang telah melahirkan beberapa anak untuknya. Lalu dia ingin mencerainya dan menikah dengan yang lain. Istrinya itu memohon kepadanya agar dia tetap dijadikan istrinya, walaupun tidak mendapatkan giliran.”

Ibnu jarir meriwayatkan bahwa Sa’id bin Jubair berkata, “Ketika firman Allah,”Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh. .,”turun, seorang wanita datang dan berkata, ‘Saya ingin mendapatkan bagian nafkah darimu.’ Padahal sebelumnya dia rela untuk tidak mendapatkan giliran dan tidak dicerai. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘…walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir….”


Ayat 135

۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

135.  Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.

Asbabun Nuzul

lbnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa as-Suddi berkata, “Ayat ini turun pada Nabi saw. ketika seorang kaya dan seorang fakir berselisih dan mengadukannya kepada beliau. Dan Rasulullah saw. memihak orang yang fakir karena menurut beliau orang fakir tidak menzalimi orang yang kaya. Sedangkan Allah tetap ingin agar beliau berlaku adil kepada orang yang kaya dan fakir tersebut.”


Ayat 148

۞ لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا

148.  Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.178) Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

178) Orang yang dizalimi boleh mengemukakan kepada hakim atau penguasa tentang keburukan-keburukan orang yang menzaliminya.

Asbabun Nuzul

Hannad ibnus Siri dalam kitab az-Zuhd meriwayatkan bahwa Mujahid berkata, “Firman Allah, ‘Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi, “turun pada seorang lelaki yang bertamu di rumah seseorang di Madinah. Namun, sang tuan rumah tidak menjamunya dengan baik. Lalu dia keluar dari rumahnya dan memberi tahu orang-orang tentang perlakuan tuan rumah yang buruk terhadapnya. Lalu dia dibolehkan melakukan hal itu (memberi tahu kelakuan tuan rumah).”


Ayat 153

يَسْـَٔلُكَ اَهْلُ الْكِتٰبِ اَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتٰبًا مِّنَ السَّمَاۤءِ فَقَدْ سَاَلُوْا مُوْسٰٓى اَكْبَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَقَالُوْٓا اَرِنَا اللّٰهَ جَهْرَةً فَاَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْۚ ثُمَّ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ فَعَفَوْنَا عَنْ ذٰلِكَ ۚ وَاٰتَيْنَا مُوْسٰى سُلْطٰنًا مُّبِيْنًا

153.  Ahlulkitab180) meminta kepadamu (Nabi Muhammad) agar engkau menurunkan sebuah kitab dari langit kepada mereka. Sungguh, mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar daripada itu. Mereka berkata, “Perlihatkanlah Allah kepada kami secara nyata.” Maka, petir menyambar mereka karena kezalimannya. Kemudian, mereka menjadikan anak sapi181) (sebagai sembahan), (padahal) telah datang kepada mereka bukti-bukti (ketauhidan) yang nyata, lalu Kami memaafkan yang demikian itu. Kami telah menganugerahkan kepada Musa kekuasaan yang nyata.

180) Ahlulkitab yang dimaksud pada ayat ini adalah orang-orang Yahudi. -><-181) Patung anak sapi itu mereka buat dari emas untuk disembah.

Asbabun Nuzul

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Muhamman bin Ka’b al-Qurzhi berkata, “Beberapa orang Yahudi mendatangi Rasuluflah saw. Lalu berkata, ‘Sesungguhnya Musa diutus kepada kami dengan membawa lembaran-lembaran dari Allah. Maka datangkanlah lembaran-lembaran seperti itu agar kami mempercayaimu.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘(Orang-orang) Ahli Kitab meminta kepadamu (Muhammad) agar engkau menurunkan sebuah kitab dari langit kepada mereka. Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, “Perlihatkanlah Allah kepada kami secara nyata.’ Maka mereka disambar petir karena kezalimannya. Kemudian mereka menyembah anak sapi, setelah mereka melihat bukti-bukti yang nyata. namun demikian Kami maafkan mereka, dan telah Kami berikan kepadi Musa kekuasaan yang nyata. Dan Kami angkat gunung (Sinai) di atas mereka untuk (menguatkan) perjanjian mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka,’Masukilah pintu gerbang (Baitulmaqdis) itu sambil bersujud,’ dan Kami perintahkan pula kepada mereka, ‘Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabat’ Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kukuh. Maka (Kami hukum mereka), karena mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, serta karena mereka telah membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan karena mereka mengatakan, ‘Hati kami tertutup’ Sebenarnya, Allah telah mengunci hati mereka karena kekafirannya, karena itu hanya sebagian kecil dari mereka yang beriman, dan (Kami hukum juga) karena kekafiran mereka (terhadap Isa), dan tuduhan mereka yang sangat keji terhadap Maryam.” (an-Nisaa’: 153-156) Lalu seorang Yahudi berlutut dan berkata, ‘Allah tidak menurunkan apa-apa kepadamu, tidak pula kepada Musa, Isa, dan siapapun.’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya ketika mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.’ Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang dibawa Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu memperlihatkan (sebagiannya) dan banyak yang kamu sembunyikan,padahal telah diajarkan kepadamu apa yang tidak diketahui, baik olehmu maupun oleh nenek moyangmu’ Katakanlah, Allah-lah (yang menurunkannya),’ kemudjan (setelah itu), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (aI-An’am: 91)


Ayat 163

۞ اِنَّآ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ كَمَآ اَوْحَيْنَآ اِلٰى نُوْحٍ وَّالنَّبِيّٖنَ مِنْۢ بَعْدِهٖۚ وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَعِيْسٰى وَاَيُّوْبَ وَيُوْنُسَ وَهٰرُوْنَ وَسُلَيْمٰنَ ۚوَاٰتَيْنَا دَاوٗدَ زَبُوْرًاۚ

163.   Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu (Nabi Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya. Kami telah mewahyukan pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub dan keturunan(-nya), Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Kami telah memberikan (Kitab) Zabur kepada Daud.

Asbabun Nuzul

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Adi bin Zaid berkata, ‘Kami tidak tahu bahwa Allah menurunkan wahyu kepada manusia setelah Musa.’ Maka Allah menurunkan ayat ini.”


Ayat 166

لٰكِنِ اللّٰهُ يَشْهَدُ بِمَآ اَنْزَلَ اِلَيْكَ اَنْزَلَهٗ بِعِلْمِهٖ ۚوَالْمَلٰۤىِٕكَةُ يَشْهَدُوْنَ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًاۗ

166.  Akan tetapi, Allah bersaksi atas apa (Al-Qur’an) yang telah diturunkan-Nya kepadamu (Nabi Muhammad). Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya. (Demikian pula) para malaikat pun bersaksi. Cukuplah Allah menjadi saksi.

Asbabun Nuzul

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Sekelompok orang Yahudi mendatangi Rasulullah saw.. Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Demi Allah, saya yakin bahwa kalian semua mengetahui bahwa saya adalah Rasul Allah.” Mereka pun menyahut, ‘Kami tidak mengetahui hal itu.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya, “(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), Tetapi Allah menjadi saksi atas (Al-Qur’an) yang diturunkan-Nya kepadamu (Muhammad).” (an-Nisaa’: 166)

 

Ayat 176

يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ

176.  Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah).191) Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah, (yaitu) jika seseorang meninggal dan dia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai seorang saudara perempuan, bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya. Adapun saudara laki-lakinya mewarisi (seluruh harta saudara perempuan) jika dia tidak mempunyai anak. Akan tetapi, jika saudara perempuan itu dua orang, bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) beberapa saudara laki-laki dan perempuan, bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu agar kamu tidak tersesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

191) Kalālah ialah orang yang wafat tanpa meninggalkan bapak dan anak.

Asbabun Nuzul

An-Nasa’i meriwayatkan dari Abuz Zubair bahwa Jabir berkata, “Ketika saya sakit, Rasulullah saw. menjenguk saya. Lalu saya katakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, saya ingin mewasiatkan untuk saudara-saudara perempuanku sepertiga harta saya.’ Beliau bersabda, ‘Bagus.’ Lalu saya katakan lagi,”Bagaimana kalau saya mewasiatkan setengah dari harta saya?’ Beliau menjawab, ‘Bagus.’ Kemudian beliau keluar dan beberapa saat kemudian beliau masuk lagi lalu bersabda, ‘Saya tidak melihat engkau akan meninggal dunia pada sakitmu ini. Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu kepadaku dan menjelaskan bahwa untuk seluruh saudara perempuanmu adalah duapertiga dari hartamu’

Dan Jabir berkata,”Turun pada saya ayat, ‘Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (an-Nisaa’: 176)

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, “ini adalah kisah lain dari Jabir, selain kisahnya pada awal surah.”

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Umar bahwa dia bertanya kepada Nabi saw. tentang bagaimana warisan untuk kalalah. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah. . . “hingga akhir ayat 176 surah an-Nisaa’ “